“Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu
Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan
pelayanan ini kepadaku”
1 Timoteus 1
: 12
PELAJARAN DARI SEORANG GELANDANGAN
Hari itu, hari Minggu yang dingin di musim gugur. Pelataran parkir menuju gereja sudah hampir penuh. Ketika aku keluar dari mobilku, aku melihat bahwa teman-temanku sesama anggota gereja saling berbisik-bisik sementara mereka berjalan menuju gereja.
Ketika aku hampir sampai, aku melihat seorang pria terbaring di dinding di luar gereja. Dia tergeletak sedemikian rupa seakan-akan dia sedang tidur. Dia mengenakan sebuah mantel panjang yang robek-robek dan sebuah topi di kepalanya, jatuh ke bawah menutupi wajahnya. Dia memakai sepatu yang kelihatannya sudah berumur 30 tahun, terlalu kecil untuk kakinya, dengan lubang di sana sini, jarinya menyembul keluar.
Kelihatannya pria ini seorang gelandangan yang tidak memiliki rumah (tuna wisma), dan sedang tertidur, sehingga aku terus berjalan ke pintu gereja.
Kami berkumpul selama beberapa menit, dan seseorang menyampaikan tentang pria yang terbaring di luar. Orang-orang mentertawakan dan berbisik-bisik membicarakan masalah ini tetapi tidak ada yang mau mengajak pria itu untuk masuk ke dalam, termasuk aku.
Beberapa lama kemudian kebaktian dimulai. Kami semua menunggu Pendeta yang akan maju ke depan dan menyampaikan Firman Tuhan, ketika pintu gereja terbuka (seperti biasa pendeta akan masuk melalui pintu depan Gereja).
Muncullah pria tunawisma itu berjalan di lorong gereja dengan kepala tertunduk.
Semua orang menarik nafas dan berbisik-bisik dan terkejut.
Pria itu terus berjalan dan akhirnya sampai di panggung, dia membuka topi dan mantelnya. Hatiku terguncang.
Di sana berdiri pendeta kami: Dialah "gelandangan" itu.
Tidak ada seorangpun yang berbicara.
Pendeta mengambil Alkitabnya dan meletakkannya di mimbar.
Dengan nada yang sangat lemah bercampur kecewa, Pendeta kami mulai berbicara sangat singkat: "Jemaat, saya kira tidak perlu bagi saya untuk mengatakan apa yang akan saya khotbahkan hari ini. Jika kamu terus menghakimi dan menilai orang, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi mereka." (Anonim)
Demikian Timoteus ketika di angkat oleh Paulus menjadi seorang
pelayan. Timotius dalam bahasa
Yunaninya ialah Τιμόθεος; Timótheos, artinya "memuliakan Tuhan". Timotius
dilahirkan dalam keluarga yang saleh, putra dari pernikahan campuran antara
Yahudi dan Yunani. Ayahnya adalah seorang Yunani sedangkan ibunya adalah
seorang Yahudi (Kis. 16:1). Ibunya, Eunike adalah wanita Yahudi yang percaya
Kristus dan menjadi Kristen. Neneknya Lois telah lebih dahulu bertobat, sebab
Paulus berbicara tentang iman dari tiga generasi (2 Tim. 1:5). Sang nenek, ibu
dan anak bertobat berkat kedatangan Paulus membawa Injil ke Listra. Tapi
sebelum mereka bertobat kepada Kristus, ibu dan nenek dari Timotius telah
mengajar Perjanjian Lama, sehingga dari kecil ia telah mengenal kitab suci (2
Tim. 3:15).
Setelah Paulus mengalami kekecewaan karena
perpecahannya dengan Barnabas dan Markus (Kis. 15:39), Tuhan mempertemukan
Timotius dengan Paulus di Listra (Kis. 16:1-3). Timotius muda dipercaya Paulus
untuk ikut dalam pelayanan misinya yang kedua (Kis. 15:36-18:22). Melalui
pelayanan inilah, Timotius bertumbuh menjadi murid dan anak rohani Paulus.
Timotius adalah pembantu setia Paulus dalam mengajarkan Injil
selama lima belas tahun sejak Timotius direkrut
di kota kelahirannya di Listra. Ia telah mengikuti Paulus dalam
hampir semua perjalanannya yang kedua dan ketiga. Ia telah diutus beberapa kali
sebagai utusan dengan tugas-tugas istimewa, misalnya ke Tesalonika dan Korintus
(1 Tes. 3:1; 1 Kor. 4:17). Ia menemani Paulus ke Yerusalem (Kis. 20:1-5) dan ia
menyertai Paulus pada perjalanan laut menuju Roma yang penuh bahaya.
Timotius berada di Roma selama Paulus dipenjarakan pertama kalinya, sebab
rasul Paulus menggabungkan nama Timotius dengan namanya sendiri waktu Paulus
menulis surat-surat dari penjara kepada Filemon, orang-orang Filipi dan
orang-orang Kolose (Fil. 1:1-2; 2:19-24; Kol 1:1).[2]
Timotius memiliki keprihatinan pada
kesejahteraan gereja-gereja dan ia setia dalam melayani Injil bersama Paulus.
Paulus menyebut Timotius sebagai anaknya yang kekasih dan yang setia dalam
Tuhan, bukan saja karena kasihnya yang besar kepada Timotius sebagai teman yang
telah berhasil dibimbingnya menjadi pengikut Kristus, tapi juga karena
kepercayaannya pada Timotius sebagai teman sekerjanya (Rom. 16:21) dan saudara
yang bekerja dengan Paulus untuk Allah dalam pemberitaan Injil Kristus (1 Tes.
3:2). Paulus menyebut Timotius sebagai satu-satunya orang yang sehati dan
sepikir dengan Paulus dan tidak mencari kepentingan Kristus. Paulus bahkan
mengatakan “tak ada seorang padaku seperti dia” (Fil. 2:20-22).
Setelah pemenjaraannya yang pertama, Paulus
meninggalkan Timotius di Efesus sebagai pemimpin gereja. Timotius diberi
tanggung jawab yang luas, yaitu menghadapi orang-orang yang murtad untuk
mengacau gereja setempat. Timotius juga bertanggung jawab dalam menata
kebaktian gereja, memilih dan meneguhkan penatua-penatua, mengatur bantuan dan
pelayanan kepada para janda, memberlakukan dan mengajarkan iman rasuli.
Timotius pun menanggung beban yang lebih berat ketika ia tahu bahwa Paulus akan
mati martir, maka tanggung jawab memelihara kelanjutan serta keutuhan
pengajaran rasul sekarang menjadi tanggungannya.
Secara manusia, Timotius tidak sanggup untuk
mengemban tugas-tugas kepemimpinan gereja yang banyak dan berat itu karena
Timotius masih muda. Tidak sedikit malah mengaggap dia rendah karena dia
masih muda, apalagi di kalangan orang Yahudi anak muda dan anak kecil biasanya
belum masuk hitungan (tidak dianggap), sehingga hinaan dan cacian selalu dia
terima acap kali dia datang kesebuah daerah-daerah untuk memberitakan Kabar
Baik. Walau demikian Paulus mengingatkan dirinya untuk tetap bersemangat,
karena setiap pelayanan yang kita lakukan itu bukan untuk manusia, tetapi
seluruh yang kita lakukan adalah untuk Tuhan. Paulus dalam suratnya yang
pertama menekankan “jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau
muda” (1 Tim 4:12). Dan dalam suratnya yang kedua, kira-kira dua tahun
kemudian, ia memperingatkan Timotius “jauhilah nafsu orang muda” (2 Tim. 2:22),
mungkin juga Paulus memberi peringatan agar Timoteus jangan membalas mereka
yang menghina layaknya anak muda yang ingin menunjukkan siapa dirinya.
Cerita Timoteus juga sering kita alami dalam
kehidupan kita, setiap kali kita memuji Tuhan, datang beribadah kepada Tuhan,
berdoa kepada Tuhan tetapi perilaku kita jauh dari apa yang Tuhan inginkan. Banyak
gereja disibukkan dengan persoalan dalam tubuh gerejanya sendiri, antara jemaat
kepada jemaat yang tidak akur hingga menghambat pelayanan gereja, antara
pelayan dengan jemaat gereja yang menimbulkan perpecahan atau antara pelayan
dengan pelayan lainnya hingga membuat gereja bagaikan ajang perebutan
kekuasaan. Gereja pada akhirnya saling menghujat, saling menghakimi, saling
menuduh dan mencurigai, sampai-sampai Gereja lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk mendamaikan jemaatnya ketimbang melakukan pelayanan ke luar gereja
membawa perdamaian. Mungkin saja Gereja yang tidak pernah membawa misi
perdamaian ke luar Gedungnya karena damai itu juga sudah hilang di dalam gedung
Gerejanya.
Pergumulan Timoteus juga adalah pergumulan
gereja saat ini, dimana banyak Gereja masih sibuk memikirkan dirinya sendiri
dan memprkaya dirinya sendiri (walau sampai kapanpun tidak pernah bisa kaya,
kecuali pendetanya mungkin… hehehe). Gereja
dan jemaat akhirnya lupa bahwa gereja ada adalah untuk pekerjaan dan pelayanan
kerajaan Tuhan di dunia ini. Sayangnya, jika saja ada seorang pelayan yang
mengajak jemaatnya memikirkan orang lain di luar Gerejanya, banyak yang akan
menolak dengan dalih: “Kita kan masih
miskin?, kita punya uang dari mana? Jemaat kita saja masih banyak yang tidak
makan?!”. Akhirnya Gereja sibuk dengan dirinya sendiri, sibuk menghitung
pendapatan Gerejanya sendiri yang tidak beranjak kemana-mana hingga pada
akhirnya nanti akan menimbulkan kecurigaan dan fitnah, eh, ujung-ujungnya balik
lagi berselisih…
1 Timotius 1:12 “Aku bersyukur kepada Dia,
yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku
setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku”. Mungkin kah maksudnya pelayanan itu bagi mereka yang ber
profesi sebagai hamba Tuhan? Mungkinkah urusan di luar gereja dan pelayanan ke
luar gereja itu juga semata-mata hanya tugas seorang Pelayan Gereja? Entahlah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar